Balada Diri ("Aku dan Tuhan - 1")

Ini antara Aku dan Tuhan.

Waktu kecil aku mengenalnya dengan dua sifat saja.

Kata orang tuaku Tuhan akan marah pada anak-anak yang melanggar larangannya. Dan Ia akan sangat sayang kepada siapapun yang mentaati perintahnya.

Dan disitulah aku waktu kecil. Aku mengaji pergi ke masjid mendendangkan Iqra dan dalam beberapa bulan saja, aku khatam pada Iqra Akhir. Pindah dari guru mengaji satu ke guru mengaji lain. Aku mendengdangkan lantunan lagu ayatul qiraah dengan nada bersemangat. Hingga sang guru selalu menyapu rambutku tanpa berkata hanya tersenyum.

Disatu saat yang lain sang guru akan menuntun tanganku dengan lidi yang aku gengam dan kugunakan untuk menunjuk ayat yang aku baca. Sang guru berkali-kali mengulang qiraahnya dengan tajwid yang fasih agar aku mengikutinya dengan benar dan seksama. Dan sampailah aku diakhir, aku akan dikhatamkan dengan upacara sederhana oleh sang guru. Dengan membuat hidangan awug kecil, dihidangkan dengan gula merah dan parutan kelapa dan disuapkan kepadaku.

Pemahamanku akan tuhan terus tumbuh disaat aku merasa remaja tahap pertama. Aku mulai banyak membaca buku-buku islami untuk remaja. Mulai aktif dalam keorganisasian remaja, dan pernah sekali terpilih sebagai ketua organisasi. Pandangan aku pada tuhan disaat remaja adalah:

Berbuat amal sebaik mungkin, Mencari ilmu sebanyak mungkin, dan Mengasah diri menjadi sebaik-baiknya insan tuhan. Hingga yang kulakukan adalah berusaha mencari cinta dan perhatian tuhan. Sebagai manusia yang baik dan bijak.

Aku juga masih sangat ingat buku-buku kecilku yang senang sekali kubaca waktu itu. Seperti Jangan Pernah menjadi Bebek, Jangan Pernah Menjadi Seleb, Surga Juga Buat Remaja, Siapa Bilang Filsafat Bukan Untuk Remaja, serta novel-novel sederhana kecil bernuansa islami karya Asma Nadia dan Gola Gong merupakan bagian dari koleksiku. Mengenang masa itu, sungguh sangat menarik bagiku. Aku juga ingat bagaimana aku bertukar bacaan dengan teman-temanku yang lain. Tidak hanya pada bacaan remaja ringan bernuansa islami, aku juga menyukai kisah-kisah petualangan, sosial, dan yang bersifat romantisme. Dimana yang terfavorit dalam koleksi waktu itu adalah Balada Si Roy, dan Lupus. Walau sebenarnya aku tidak mengoleksi Lupus tapi aku bisa mendapatkannya dari berbagai referensi teman atau rental di taman bacaan. Minat bacaku yang meningkat juga mulai menumbuhkan pemikiran-pemikiran terhadap kritik sosial dan idealisme terhadap sebuah kelompok.

Sampai akhirnya aku berada pada fase remaja tahap kedua. Yang mana dengan beberapa ilmu yang aku capai pada pendidikan pesantren yang kukecap selama tingkat SMP-SMU. Aku memaknai tuhan dengan varietas ilmu duniawi dan agama. Hingga aku berhenti pada argumentasi bahwa:

Tuhan tidak pernahlah kaku, dia tidak hanya terdiri dari sekelumit masalah peribadatan saja, tapi dia hampir mencakup semua keilmuan. Seperti pepatah populer dari Albert Einstein (Ilmuan), Ia mengatakan bahwa: Ilmu tanpa Agama sama saja Buta, dan Agama tanpa Ilmu sama saja Lumpuh.

Maka cukup bagiku mengambil kesimpulan sementara diantara tiga fase yang sebelumnya bahwa Tuhan adalah Ilmu, Tuhan adalah Kebaikan, dan Tuhan adalah pencapain akhir seorang manusia.

Memaknai tuhan bukanlah hal yang sulit namun juga bukan hal yang mudah. Pertanyaan akan tuhan dan pengembalian diri seseorang akan mengingat tuhan, seringkali terlintas hanya ketika mereka berada dititik kritis menghadapi sebuah masalah. Sehingga teman bicara yang ada satu-satunya adalah tuhan dengan lantunan keluh kesah diri pada diri sendiri dan untaian do'a demi sebuah harapan yang hanya bisa dijawab Sang Maha Mengetahui.





~ Bersambung.

0 comments:

Posting Komentar

Kalo sudah baca. Jangan Lupa tinggalin komentar yah!!